Senin, 30 November 2009

Hidup di Perantauan

Masih teringat betapa dahulu bulan Juni tahun 2004 ketika aku meninggalkan rumah mertuaku yang ada di Depok-Jawa Barat demi membangun kehidupan bersama keluarga sendiri dengan segala kekurangan yang harus kutempuh, hari demi hari kujalani dengan penuh harapan. Aku berangkat merantau ke kota seberang lautan (Pangkalan Bun yang sekarang menjadi tempat tinggal tetapku) dengan hati sedih karena harus berpisah dengan anak dan istri tersayang yang sementara harus kutitipkan bersama mertuaku, dan bersama doa seluruh keluarga aku harus rela menjalani hidup sendirian sementara.
Enam bulan kemudian, ketika ada kesempatan waktu aku mengunjungi keluargaku di kota Depok-Jawa Barat, kutumpahkan semua kerinduan yang selama ini kupendam. Aku bercerita banyak betapa selama meninggalkan keluargaku aku selalu membayangkan bagaimana kehidupannya selama kutinggalkan. Aku bercerita betapa banyak hal baru yang harus kukerjakan selama di perantauan.
Aku memutuskan untuk membawa sekalian anak dan istriku bersama ke tempat yang baru yang belum pernah dia bayangkan sebelumnya, sebuah kota kecil yang tidak seramai kota yang pernah dia tinggali.
Kemudian dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit uang aku berniat untuk membangun sebuah tempat tinggal sendiri yang bagaimanapun bentuknya agar dapat untuk berteduh dan tidak menumpang lagi dengan orang lain.
Akhirnya dengan menjual sepeda motor cicilan yang belum lunas aku membeli sebidang tanah berukuran 12,5 x 23 m dengan harga 4,5 juta sama persis dengan harga jual motorku. Kemudian aku mulai membangun rumah dengan bahan-bahan bekas sisa proyek.
Sampai saat ini aku tetap bekerja pada perusahaan saudaraku di Pangkalan Bun dengan banyak orang di dalamnya. Aku harus banyak belajar dan sabar di bawah tekanan pekerjaan yang membuat aku tidak punya waktu lagi untuk berkunjung ke pulau Jawa. Hingga 4 kali lebaran aku hanya dapat merayakan bersama dengan keluargaku di Pangkalan Bun Saja. Udah ah… capek nulisnya!!!
-wassalam-


Masa Pembelajaran Tanggung Jawab

Aku mulai belajar mengetik sepuluh jari dengan modal buku Pelajaran Mengetik, kertas dan mesin tik tua yang disediakan oleh pamanku agar bisa belajar sendiri, sambil sekali kali mencoba melamar lowongan kerja. Berkat belajar dengan serius akhirnya aku bisa juga mengetik dengan lancar tanpa melihat papan tuts / keyboard. Sehingga untuk melengkapi keahlianku aku dibelikan pamanku sertifikat/ijazah mengetik (jangan ditiru!!!) yang pada waktu itu kira-kira harganya 75 ribu rupiah. Sedangkan aku digaji kantor setahun kemudian hanya 60 ribu per bulan, jadi cukup mahal bukan.
Aku mulai mengikuti kursus-kursus antar lain; kursus Montir dari Departeman Tenaga Kerja (Depnaker ) di Balai Latihan Kerja di Pasar Rebo Cijantung. Dua tahun aku mencoba melamar pekerjaan apa saja di Jakarta, tapi tak satupun yang menerima, akhirnya karena nepotisme pamanku aku diterima di instansi Non Pemerintah yaitu di Palang Merah Indonesia cabang Jakarta Timur tepatnya pada tanggal 11 Maret 1988.
Di Instansi tersebut aku bekerja untuk yang pertama kali selama hidup. Di Instansi tersebut pertama kali aku mengenal yang namanya tanggung jawab dalam bekerja. Di Instansi tersebut pertama kali aku mengetahui yang namanya orang korupsi dengan menggandakan karcis atau kupon sumbangan tanpa dilaporkan. Di instansi tersebut pertama kali aku mengetahui bahwa barang-barang sumbangan dari perbagai pihak banyak yang disortir kemudian dipake sendiri, kemudian sisanya lalu didistribusikan kepada orang yang membutuhkan.
Genap satu tahun aku bekerja di Palang Merah Indonesia cabang Jakarta timur, aku mulai terganggu dengan ucapan-ucapan orang tua yang bernama pak Broto yang mengatakan, “Kamu masih muda, ngapain di sini!? Pergi ke sana, ke Kalimantan kek! Kemana kek!, berapa kamu digaji disni!?, Lihat ini aku sudah tua tapi masih seperti ini.” Aku merasa terbakar semangatku, dan berpikir jangan-jangan nanti aku menjadi tua seperti pak broto dan tak punya apa-apa.
Aku memang digaji sangat minim pada waktu itu, cuma enam puluh ribu rupiah sebulan tapi aku tidak sadar bahwa aku baru bekerja selama setahun sehingga tidak cukup pengalaman untuk mencoba bekerja di tempat lain.
Akhirnya aku mengundurkan diri dari Palang Merah Indonesia Cabang Jakarta Timur, dan mulai nganggur lagi.
Satu bulan aku mengikuti kursus komputer secara intensif, yang pada waktu masih sangat jarang dan lumayan mahal biayanya, tapi berkat kebaikan pamanku akhirnya aku dibiayai untuk kursus komputer tersebut, untuk menambah keahlian, agar mudah mencari pekerjaan selanjutnya.
Kedua kalinya aku mulai diterima bekerja pada perusahaan swasta, dan itupun berkat kenalan pamanku lagi, aku ditempatkan di Departemen Pekerjaan Umum jalan Pattimura Jakata Selatan. Satu tahun kemudian pindah proyek, tapi masih dalam perusahaan yang sama. Memang bukan sebagai karyawan tetap tapi lumayan dari pada harus melamar-melamar lagi pekerjaan.
Hingga tahun Januari 1994 aku baru berani melakukan hal yang sama sekali baru sebagai manusia, yaitu aku menikah karena usia yang sudah cukup. Aku mendatangkan kedua orang tuaku yang berada jauh dari Jawa Timur, juga seluruh kerabat dan saudara yang ada di Depok, walaupun mungkin ada saudara yang kurang setuju dengan pernikahanku pada waktu, tapi tetap aku jalankan juga. Dan mulai hidup sebagai orang yang harus bertanggung jawab terhadap keluarga. Semua itu tak lepas dari jasa saudara-saudara yang ada di Depok yang tak akan pernah saya lupakan.
Aku memang berpenghasilan pas-pasan karena latar belakang pendidikanku yang kurang memadai, sehingga ketika tanggal 1 Desember 1994 puteriku lahir dengan selamat, aku bertambah bahagia. Tetapi sampai lama aku belum mampu mempunyai rumah dan tempat tinggal sendiri, maka dengan sangat terpaksa aku menumpang di pondok mertua indah sampai sepuluh tahunan.
Tahun 1997 aku mencoba memasuki bangku kuliah di STMIK Muhammadiyah (Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer) di Jalan Kramat Raya Jakata Pusat, dengan angan-angan mudah-mudahan dengan menjadi sarjana nanti aku bisa meningkatkan kehidupan keluargaku. Pada tahun 1998 bapakku meninggal tanpa dapat aku melihatnya ketika disemayamkan dan dikuburkan, hal ini dikarenakan pada waktu itu aku sedang mengikuti ujian semester kuliah yang tidak pernah terselesaikan. Karena keadaan yang tidak mendukung dari segi finansial akhirnya pada semester 5 aku harus DO dari bangku kuliah karena terlalu banyak hutang uang kuliah yang tidak terbayar sampai saat ini.
Aku ucapkan terimaksih kepada mertuaku yang dengan sangat sayang telah menerima dan menampung anak dan istriku yang notabennya memang anak dan cucunya sendiri, tetapi aku sebagai kepala rumah tangga dari keluargaku sendiri harusnya mengusahakan rumah dan tempat tinggal untuk istri dan anaku, tetapi apa daya penghasilanku hanya cukup untuk makan saja tidak ada lebihnya untuk ditabung.
Cukup lama aku bekerja pada satu perusahaan yang sama sampai akhirnya kontrak kerjaku dengan perusahaan PT. Pamintori Cipta habis yaitu pada Januari 1999, dan terpaksa aku harus nganggur lagi dengan beban keluarga yang harus aku tanggung.
Satu tahun setelah aku selesai kontrak kerja dengan perusahaanku akhirnya aku dapat panggilan kerja di perusahaan swasta lainnya yaitu PT. Karti Mulia Eka Praya pada proyek Jaring Pengaman Sosial (JPS) Proyek Padat Karya Perkotaan (PPKP) dan berkantor di Jalan Senopati No. 8 Jakarta Selatan lalu pindah kantor di Jalan apa tuh? aku lupa di depan Blok M Plaza. Selama 8 bulan aku bekerja kemudian harus berhenti lagi karena memang kontrak kerjanya cuma 8 bulan saja. Nganggur lagi oeh!!!
Pada bulan Mei 2001 aku dapat panggilan bekerja kembali pada perusahaan Konsultan asing yang bermitra dengan perusahaan swasta di Jakarta, aku berkantor di gedung Bumiputera Jalan Sudirman Jakarta Pusat sampai Agustus 2002 dan berhenti lagi. Nasib pekerja kontrak memang tidak menguntungkan, tapi sekali lagi apa daya.
Hampir dua tahun aku berusaha bekerja apa saja seperti dalam tabel( yang ngojek, ngebengkel, jualan sayur, nyopir taksi dan lain-lain selain nyopet), hanya agar anak dan istriku tidak sampai kelaparan. Sampai akhirnya saudara yang berada di Kalimantan Tengah kebetulan ada urusan di Jakarta dan singgah di rumah mertuaku di Depok, dan sempat ngobrol dan bertanya tentang kehidupanku.


Masa Remaja

Masih banyak tersisa kenangan ketika menginjak sekolah SMA, antar lain pada jam-jam istirahat sekolah, aku sering pergi ke lapangan bola untuk bercanda dan bermain bola bersama teman-teman sekelas, kadang-kadang kalau guru pengajar sedang kosong aku bersama teman-teman pergi ke sungai yang memang dekat dengan sekolahku untuk mandi dan mencari kerang, bahkan aku pernah naik ke loteng sekolahku untuk mendapatkan anak-anak burung hantu. Pada masa SMA itulah aku mulai mengenal rokok.
Betapa mendebarkan menunggu hasil ujian SMA, Setelah melihat hasil ujian dan dinyatakan lulus, betapa senang saat itu sehingga lupa akan segala aturan-aturan sekolah yang selama ini harus kita ikuti, menari-nari mengungkapkan rasa gembira bersama teman-teman, main semprot dan corat-coret baju seperti layaknya orang-orang muda yang sedang bergembira, dan lupa bahwa setelah lulus SMA akan kemana dan bagaimana?
Setelah lulus dari bangku sekolah SMA aku mulai bingung mau apa, karena biasanya pada hari-hari aku sibuk dengan buku dan teman-teman kini tidak ada kegiatan lagi yang aku lakukan, melanjutkan kuliah orang tua tidak sanggup lagi membiayai, mencari pekerjaan dengan modal ijazah SMA dan nol pengetahuan juga sangat sukar, akhirnya aku dititipkan oleh kedua orang tuaku kepada saudaraku yang tinggal di Jakarta untuk mulai belajar bekerja.
Masih teringat ketika aku berduaan dengan bapakku, di pinggir sumur di rumah pakde tempat bapakku bekerja, dia berkata, “bapak sudah tidak sanggup lagi untuk menyekolahkan kamu, kamu pergi saja ikut paklekmu yang ada di Jakarta”.
Sangat sedih mendengar seorang tua yang sangat kukagumi yang tidak pernah membentak atau memukulku hingga saat ini, berkata bahwa dia tidak lagi mampu menanggung biaya sekolah anaknya, bukan sedih karena aku tidak akan melanjutkan kuliah namun sedih ketika melihat ekspresi wajahnya, dia merasa bersalah karena kemiskinannya, dan menyuruhku untuk ikut dengan saudara yang ada di Jakarta, aku tahu betul kesedihan yang terlukis di wajah bapakku, dan aku tahu betul perasaannya ketika itu, karena ibuku pernah berkata bahwa dia (bapakku) merasa bersalah karena mempunyai anak kemudian melepas pergi sebelum tahu anaknya sudah bisa mandiri, dia merasa bahwa dia seperti seekor burung yang membiarkan anaknya terbang entah kemana karena sudah cukup bisa terbang tanpa tahu bagaimana nasib anaknya kelak.
Dengan menahan perasaan aku berusaha menghibur bapakku dengan berkata, ”bapak gak usah sedih dan susah, biarlah saya akan pergi ke Jakarta mudah-mudahan nanti saya akan berhasil di sana”. Entah berhasil seperti apa yang aku harapkan sedangkan aku sendiri tidak tahu maksud yang aku ucapkan pada saat itu. Yang ku ingin pada saat itu adalah bapakku tidak merasa sedih dan susah karena terlanjur mempunyai anak seperti aku. Kalau saja bapakku tahu bahwa sekarang aku sudah punya rumah, walau tidak terlalu bagus sekali tapi cukup nyaman untuk kutinggali bersama keluargaku.???
Maka pergilah aku meninggalkan kedua orang tuaku di desa. Aku mulai ikut dengan pamanku yang tinggal di kota Depok Jawa Barat jauh dari kampung halaman.

Pra Remaja

Hampir sama dengan ketika masih sekolah dasar, ketika SMP dulu aku hanya teringat sedikit diantara banyak sahabat.
Entah karena apa, diantara para sahabatku hingga saat ini jarang sekali (hampir tidak pernah) bertemu baik secara offline maupun online, mungkin karena sudah pada berkeluarga dan sibuk masing-masing kali yaa…"

Sabtu, 14 November 2009

Perjalanan

Ingat satu tapi lupa seribu, itulah gambaran masa kecil yang memang sudah sangat lama kita tinggalkan. Tidak banyak yang dapat diingat, mungkin karena otak yang tumpul atau sudah terlalu tua hingga pikun, hanya sedikit kenangan yang masih belum hilang, yang ada hanyalah kebahagiaan, karena ketika masa kanak-kakak kita hanya mengenal bermain dan bersenang-senang, kita tidak pernah tahu betapa orang tua kita bekerja dengan sangat keras, mencoba mencari nafkah untuk kita makan dengan saudara-saudara yang lain. Bahkan ketika banjir melanda desa itupun sangat membahagiakan, karena dengan genangan air di mana-mana kita dapat bermain perahu, gethek, memancing mencari ikan, dan bermain dan lain-lain. Dan berharap agar banjir tidak segera surut. Sungguh aneh ya!
Ada sedikit kenangan yang tidak pernah kulupakan ketika suatu kali aku terjatuh ketika bermain, hingga mengalami patah persendian siku kiri, yang menyebabkan banyak harta orang tuaku terjual antara lain; 2 kios toko, guna untuk mengobati seorang anak yang kurang berbakti yang tidak sempat membalas segala upaya orang tuanya. Juga ketika kelas 6 SD diadakan perlombaan Senam Kesegaran Jasmani tingkat kecamatan pada peringatan hari kemerdekaan RI Agustus 1978, yang mana sesaat waktu lomba akan dimulai itu, tiba-tiba saja aku sebagai anggota peserta lomba yang mewakili sekolahku digantikan oleh seseorang teman tanpa aku mengerti kenapa, hingga saat ini. Mungkin yang tahu jawabannya adalah guru-guru SD kami pada waktu itu, yang mungkin pada saat ini, ketika aku menulis kisah biografi ini sudah banyak yang telah tiada."

;;

ShoutMix chat widget

Berita Terhangat